Judul Buku : Pendidikan Pascakonflik - Pendidikan multikultural berbasis konseling budaya masyarakat Maluku Utara, Karya Dr. M. Tahir Sapsuha.
Hasil Reading Report :
Pendidikan merupakan instrumen penting yang sangat efektif untuk melakukan transformasi peradaban suatu masyarakat. Persepsi ini lahir karena pendidikan menyentuh aspek-aspek fundamental dari manusia, yaitu aspek kognitif (intelektual), aspek afektif (sikap mental dan penghayatan), dan aspek psikomotorik (skill). Dengan pendidikan yang unggul, kemajuan suatu bangsa akan terlihat bagaimana perkembangannya.
Selanjutnya, konflik yang terjadi di Maluku Utara merupakan konflik horizontal yang terjadi di lapisan masyarakat yang melahirkan kecilnya respons masyarakat terhadap dunia pendidikan. Hal ini menjadikan sebuah pemikiran bahwa pendidikan tidak memiliki peran yang penting dalam mengatasi konflik Maluku Utara serta masyarakat berfikir apatis dan pragmatis pada hasil-hasil pendidikan.
Tidak sampai disitu, bahwa konflik Maluku Utara juga diboncengi dengan agama yang muncul ke permukaan sehingga membuat konflik tersebut semakin rumit, memanas dan terus melebar. Hal itulah yang melatarbelakangi saya untuk mengkaji pendidikan yang cocok untuk diterapkan di Maluku Utara pascakonflik.
Seperti yang kita ketahui sendiri bahwa pascakonflik pasti masih terdapat luka yang membekas pada setiap individu, agar di masa sekarang dan masa nanti luka lama tersebut tidak muncul yang menyebabkan konflik lagi. Terlebih lagi jika pendidikan yang di dapatkan kurang memberikan pengetahuan inti tentang masyarakat Maluku Utara yang semenjak dahulu memiliki keberagaman suku,budaya dan agama.
Buku yang saya baca dengan judul “Pendidikan Pascakonflik-pendidikan multikultural berbasis konseling budaya masyarakat Maluku Utara” karya dari Dr. M. Tahir Sapsuha. Merupakan buku yang membahas pendidikan pascakonflik Maluku Utara.
Dari membaca buku tersebut, bahwa sebenarnya konflik masyarakat Maluku Utara bukanlah konflik tentang agama. Tetapi dengan dibungkusnya masalah agama yang di angkat ke permukaan, menjadikan masalah yang terjadi di Maluku Utara semakin rumit dan semakin melebar. Hal ini terjadi karena agama merupakan sebuah sistem simbol yang berlaku untuk menentukan suasana hati dan motivasi yang kuat serta meresap ke dalam diri manusia.
Di dalam buku ini menjelaskan gambaran secara umum mengenai masyarakat Maluku Utara yang beranekaragam dengan suku, budaya dan agama. Tetapi dengan kurangnya dan tidak tepatnya materi pendidikan yang ada di Maluku Utara menjadikan pengetahuan tentang hidup dalam keberagaman masih kurang.
Dengan konteks ini, pendidikan multikultural berbasis konseling budaya merupakan upaya pendidikan yang cocok yang diterapkan pascakonflik di Maluku Utara tersebut.
Agama dan konflik Maluku Utara
Dadang Kahmad, dalam buku Dr. M. Tahir Sapsuha menjelaskan bahwa kata “agama” berasal dari Bahasa Sansekerta yang artinya “tidak kacau”. Pemaknaan ini mengacu kepada penggunaan dua akar suku kata dalam agama : a tidak dan gama kacau. Penggabungan kedua kata tersebut memiliki arti yang logis bahwa agama diwujudkan untuk menghindari manusia dari carut-marutnya kehidupan.
Dalam buku ini juga, Clifford Geertz menegaskan bahwa agama merupakan sebuah sistem simbol yang berlaku untuk menentukan suasana hati dan motivasi yang kuat dengan meresap ke dalam diri manusia dengan suatu konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan membungkus sehingga nampak suasana hati dan motivasi yang realistis.
Dari pendapat diatas, menurut saya bahwa agama memiliki pengaruh yang sangat kuat kepada individu yang sudah meyakini agama tersebut. Mereka akan meyakini dan mempercayai apa yang diyakini mereka, karena agama pada dasarnya adalah untuk mencari suasana ketenangan hati dan sebagai jalan untuk mencari kebahagiaan.
Agama juga dapat memberikan suatu motivasi yang kuat dari dalam diri manusia hal ini karena agama sangat menyentuh ke dalam hati seorang individu.
Buku ini membuat saya mengetahui bahwa agama merupakan hal yang sangat sensitif sekali untuk memperpanas terjadinya sebuah konflik. Hal ini disebabkan karena agama menyangkut sebuah kepercayaan. Orang yang sudah mempercayai suatu keyakinan dia akan membela agamanya tersebut, sehingga bukan menjadi persoalan baru jika suatu konflik yang diselimuti dengan agama, konflik tersebut sangat cepat untuk menyebar dan semakin memanas.
Kita ketahui bersama bahwa masyarakat Maluku Utara semenjak dahulu memiliki keragaman suku, kebudayaan dan agama. Maluku Utara berdiri menjadi Provinsi baru sejak akhir tahun 1999 berdasarkan PP No. 42/1999. Akan tetapi, awal berdirinya Provinsi ini disambut dengan konflik yang terjadi hampir seluruh wilayah Maluku Utara.
Konflik yang terjadi di daerah Maluku Utara sedikit banyak dipengaruhi oleh konflik yang terjadi di Provinsi Maluku, khususnya di kota Ambon. Konflik Maluku Utara juga sarat dengan kepentingan politik, baik lokal maupun nasional. Dalam konteks ini, sumber konflik di Maluku Utara seperti halnya yang terjadi di Maluku Tengah yang berkutat pada masalah ekonomi dan politik.
Persoalan tentang kesenjangan sosial, perebutan sumberdaya alam, serta pertikaian elite politik dan bikrokrasi merupakan faktor pembungkus “konflik agama” yang selama ini memang diakui sebagian besar masyarakat, baik dalam lokal maupun nasional.
Isu agama diangkat ke permukaan sehingga situasi menjadi semakin panas. Terjadi pengusiran warga Malfut (sebagian besar penduduk pemeluk islam) oleh warga Kao (sebagian penduduk pemeluk Kristen) dengan alasan karena pembentukan kecamatan Malifut sebagai kecamatan baru.
Kecamatan baru itu nantinya akan terdiri dari 16 desa suku Makian pendatang (Islam), 5 suku Kao yang mayoritas Kristen, dan 6 desa suku Jailolo yang juga mayoritas Kristen. Kemudia suku Kao dan Jailolo sepakat untuk tidak bergabung dalam kecamatan baru karena mereka akan menjadi minioritas dalam 27 desa yang akan membentuk Kecamatan Malifut.
Dalam konteks lain, yang pertama adalah politik. Berambisinya untuk menduduki jabatan tertinggi yaitu Gubernur Maluku Utara. Sultan Ternate Mudafar Syah yang didukung oleh kaum Kristen terlibat perang dingin dengan Sultan Tidore dan Bacan yang juga sama berambisi menduduki jabatan tersebut. Hal ini terkait dengan sejarah masa lalu Maluku Utara dikuasai oleh 4 kesultanan, yaitu Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo yang merebutkan kekuasaan hingga luka lama tersebut muncul kembali ke permukaan .
Yang kedua, selain itu konflik yang terjadi di Maluku Utara adalah perebutan tambang emas di Malifut, yaitu antara penduduk asli Kao (Kristen) dan suku Makian pendatang yang beragamaa islam. Pada pertikaian ini, camat Kao (beragama Islam) memimpin suku Kao yang mayoritas Kristen dengan menyerang suku Makian. Kerusuhan ini terus meluas di Tidore dan Ternate, peristiwa ini terus berlanjut dan terjadi penyerangan satu sama lain pada tahun 1999.
Dari pernyataan diatas, dapat saya simpulkan bahwa agama tidak hanya digunakan untuk mengatur hubungan antara Tuhan dengan manusia tetapi juga digunakan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, yang berarti mengatur mengenai segala aspek dari manusia itu sendiri.
Pendidikan multikultural dalam pelajaran agama
Berkaitan dengan masyarakat Maluku Utara pascakonflik, diperlukan sebuah pendidikan yang tepat. Salah satunya adalah pendidikan agama, namun pendidikan yang berlangsung selama ini tampak kurang menekankan pada nilai moral agama seperti kasih sayang, cinta, tolong-menolong, menghargai perbedaan pendapat, menghormati keragaman keyakinan, serta sikap lain yang mampu untuk menciptakan hubungan harmonis antariman dan kebudayaan di Maluku Utara.
Para guru agama menyadari suasana pascakonflik masih menyelimuti mereka dan tidak memungkiri bahwa konflik tersebut meledak dari akibat gagalnya pendidikan agama yang tidak mampu menyadarkan kesadaran hidup dan keberagaman masyarakat Maluku Utara. (Tahir Sapsuha, 2013 : 158).
Menurut pendapat saya, dari kutipan diatas bahwa pendidikan multikultural yang dimasukkan dalam materi pendidikan agama pascakonflik sangatlah bagus. Hal ini karena memungkinkan agar peserta didik dari satu agama untuk mengenal lebih jauh sejarah dan budaya agama yang lain.
Begitu juga dengan materi pendidikan agama yang berwawasan multikultural juga harus lebih diperluas dengan memasukkan materi pengetahuan umum tentang agama lain dalam pelajaran agama yang dianutnya.
Pengetahuan ini ditujukan agar peserta didik mengenal keberagaman agama lain, materi ini penting sekali karena kita ketahui bersama bahwa agama pada masyarakat Maluku Utara sangat kental. Sehingga pada intinya pendidikan agama dengan wawasan multikultural harus berisi :
• Belajar hidup dalam perbedaan
Merupakan sikap hidup yang penuh toleransi, yaitu sikap menenggang rasa seperti mengahargai, membiarkan, membolehkan. Selanjutnya yaitu pendirian yang berupa pendapat, pandangan , kepercayaan, kebiasaan, kelakuan serta sikap lainnya mengenai perbedaan.
• Sikap saling menghargai
Dalam sikap menghargai ini, nilai yang dikembangkan adalah mendudukkan semua manusia dalam kesetaraan dan tidak ada yang kuat, yang lemah, yang minioritas, dan mayoritas.
• Terbuka dalam berfikir
Sebuah pandangan yang harus dijauhi bahwa agamanyalah yang paling benar dan satu-satunya jalan keselamatan serta mencoba untuk terbuka dalam pemikiran dan tidak ada yang disembunyikan.
• Membangun saling percaya
Dengan kesimpulan bahwa, antar umat beragama harus membangunkan sikap paling percaya. Karena agama merupakan faktor yang menumbuhkan rasa prasangka (prejudice)
• Saling ketergantungan dan saling membutuhkan.
Manusia adalah makhluk sosial. Selain itu hidup dengan keberagaman pasti membutuhkan dan saling melengkapi tidak hanya dalam satu suku atau agama tetapi dengan suku dan agama lainnya. Dalam konteks lain adalah kerjasama dalam bidang apapun, contohnya keagamaan.
• Apresiasi terhadap Pluralisme Budaya.
Masyarakat Maluku Utara dengan aneka ragam budaya, suku dan agama seharusnya menjadikan wilayah tersebut bangga dengan adanya perbedaan tersebut. Setiap agama pastinya memiliki kebudayaan yang berbeda sehingga kembali lagi ke menghargai antariman.
Pendekatan berbasis konseling budaya
Model pendekatan yang dilakukan adalah menggunakan pendekatan berbasis konseling budaya. Pendekatan ini, menunjukkan suatu model untuk mengelola keragaman masyarakat Maluku Utara dengan cerdas serta mencerahkan melalui jalur pendidikan.
Tidak sekedar itu pendidikan agama multikulturalisme berbasis konseling budaya berupaya untuk proses mendidik, memahami, mengetahui serta mengimplementasikan nilai-nilai multikulturalisme di materi pendidikan agama dalam kehidupan nyata. Pendekatan diharapkan bahwa masyarakat Maluku Utara dapat membuka pemikiran dan nilai-nilai multikultural serta dapat hidup bersama dalam keberagaman.
Konseling budaya juga dapat menjembatani interaksi kaum islam dengan kristen yang sempat tercerai akibat konflik. Interaksi sosial tetap harus dilanjutkan antara lintas agama untuk keberlangsungan hiudp. Pendekatan ini dapat dilakukan melewati guru.
Selain itu latar belakang masalah Maluku Utara tidak hanya karena kelompok dengan kelompok melainkan individu juga. Banyak yang beranggapan bahwa kepribadian seseorang yang memicu terjadinya konflik, itu semua tidak benar. Tetapi konflik muncul akibat karena sikap tidak menghargai sesama antar umat beragama.
Dari buku ini dapat saya simpulkan inti pendekatan konseling budaya, adalah guru sebagai konselor bagi anak didiknya. Maksudnya guru sebagai penampung dari masalah-masalah muridnya, agar murid yang memiliki masalah dapat berkonsultasi kepada guru agar tidak terjadinya konflik kecil yang nantinya akan melebar.
Selain itu tujuan dari pendekatan ini adalah mengembangkan konsep peserta didik, meningkatkan spiritual pribadi, kemampuan berkomunikasi antarbudaya di Maluku Utara. Diharapkan konseling budaya dalam pendidikan agama baik disekolah maupun di masyarakat dapat membuka nilai-nilai budaya dan kebersamaan yang ada di Maluku Utara.
Relevansi kajian
Judul kajian saya ini mempunyai relevansi, pertama terhadap sejarah lokal Indonesia, digunakan untuk menambahkan materi pembelajaran sejarah yang disekolah.
Kedua memiliki relevansi terhadap pelajaran pendidikan agama Islam dan pendidikan agama Kristen yang terletak pada tujuan dan isi materi pendidikan agama tersebut.
Ketiga, adalah relevansi terhadap strategi pembelajaran guru yang mengajar di wilayah yang rawan konflik.
Judul kajian
“ Pendidikan Multikultural berbasis konseling budaya sebagai upaya untuk mencegah konflik masyarakat Maluku Utara di masa sekarang pascakonflik tahun 1999-2002”
Kesimpulan
Kondisi keberagaman di Maluku Utara tidak terlepas dari proses sejarah yang panjang, sehingga menyebabkan konflik Maluku Utara yang terus meluas dengan dimunculkan agama ke permukaan masalah Maluku Utara yang semakin panas, serta masyarakat yang apatis tentang hasil dari pendidikan untuk meredakan konflik tersebut.
Upaya yang dilakukan pascakonflik tersebut merupakan sebuah upaya pendidikan untuk membuka pemikiran masyarakat untuk hidup dalam keberagaman dan solusi untuk perbaikan pendidikan, pendidikan tersebut adalah pendidikan multikultural yang berbasis konseling budaya. Hal ini dilakukan agar dimasa sekarang dan nanti, luka yang mendalam tersebut tidak muncul kembali dan pastinya untuk mencegah konflik Maluku Utara terjadi lagi.
Daftar Rujukan
Sapsuha, Tahir. 2013. Pendidikan Pascakonflik: Pendidikan Multikultural Berbasis Konseling Budaya Masyarakat Maluku Utara.Yogyakarta : LKiS.
0 comments:
Posting Komentar