Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. al-Bqarah [2]:178).
Munasabah Ayat (QS. al-Baqarah [2]: 178)
Selain itu, ayat tentang qishash tersebut mempunyai munasabah (korelasi) dengan ayat lain yang diidentifikasi dapat memberikan pengaruh terhadap konsepsi qishash, diantaranya al-Qur'an al-Baqarah ayat 179,194, dan al-Maidah ayat 45.10
Sebagaimana terkandung dalam ke-tigat ayat di atas, qishash dapat diartikan dengan hukuman yang setimpal dari perbuatan dosa,11 baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Oleh karenanya, ketika Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah: 178, sesungguhnya Dia mengisyaratkan melalui alif-lam al- ‘ahdiyyah (alif-lam yang berfungsi untuk janji) sebagaimana qishash yang berlaku sebelumnya, dengan kesepadanan yang telah jelas dalam setiap benak manusia. Demikian juga firman Allah dalam surat al-Maidah, bahwa qishash itu bersifat siksa fisik yang dilakukan oleh manusia kepada manusia lain, maka jelaslah bahwa qishash yang diterangkan pada ayat 178 dan ayat 194 dari surat al-Baqarah itu adalah “peperangan”.
Jadi, dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa kesepadanan orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan perempuan dengan perempuan merupakan kesepadanan yang khusus dalam orang-orang yang dibunuh, yang artinya “perang masal”. Sedangkan kesepadanan jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, dan gigi dengan gigi merupakan “kesepadanan khusus pada perang individu,” yang terjadi antara dua orang.
Kandungan Hukum dan Pendapat-Pendapat Para Ulama
Terjadinya perdebatan para ahli hukum mengenai penerapan qishash khususnya terkait hukuman mati di negara-negara Islam termasuk Indonesia dikarenakan kurangnya pemahaman sebagian mereka mengenai tujuan ditetapkannya (maqâshid syar‘iyyah) dari qishâsh tersebut. Hukuman qishâsh merupakan sanksi hukum terhadap kejahatan atau prilaku yang jelas bertentangan dengan norma masyarakat berbeda dengan prilaku pengguna riba yang masih menimbulkan perdebatan seberapa jauh dampak yang ditimbulkan standar-standar etis (patokan moral/psikologis) nya. Pada Q.S. al-Baqarah/2: 178 sebelumnya Allah telah menyatakan pensyari’atan qishâsh bagi orang-orang mukmin.
Imam Ibn Katsir menerangkan di dalam tafsirnya asbâb al-nuzûl ayat ini. Imam Abu Muhammad ibn Abi Hatim meriwayatkan, “Telah diinformasikan kepada kami oleh Abu Zur‘ah, Yahya ibn Abdullah ibn Bukair, Abdullah ibn Luhi’ah, dan `Atha’ ibn Dinar dari Sa’id ibn Jubair mengenai firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, yakni apabila dilakukan dengan sengaja orang merdeka dengan orang merdeka.” Mereka mengatakan bahwa pada waktu itu ada dua suku bangsa Arab saling berperang pada masa jahiliyah, beberapa waktu sebelum datangnya Islam. Maka, di antara mereka terjadilah pembunuhan dan pelukaan, sehingga mereka membunuh budak-budak dan kaum wanita, kemudian sebagian mereka tidak membalas atas sebagian yang lain sehingga datangnya agama Islam. Salah satu dari kedua suku itu bertindak berlebihan terhadap yang lain dalam jumlah dan harta. Lantas mereka mengadakan janji setia secara internal bahwa mereka tidak rela sehingga mereka membunuh orang merdeka sekalipun orang itu cuma membunuh budak saja, dan membunuh laki-laki meskipun laki-laki itu hanya membunuh seorang perempuan. Kemudian turunlah ayat di atas, “Orang merdeka (dibalas) dengan (membunuh) orang merdeka, budak dengan budak, dan perempuan dengan perempuan.”
Secara umum ayat di atas bermakna penetapan syariat hukuman qishâsh berkenaan orang yang dibunuh, yang dilakukan dengan sengaja, yaitu orang merdeka diqishâsh karena membunuh orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita. Tetapi jika keluarga teraniaya ingin memaafkan dengan menggugurkan sanksi itu, dan menggantinya dengan tebusan, maka itu dapat dibenarkan.
Lebih jauh, Imam Sya‘rawi menegaskan sebuah kemaslahatan yang berupa penetapan sanksi qishâsh kepada pembunuh yang dengannya lahir sebuah kemaslahatan bagi kerabat yang dibunuh (wali ad-dam) agar dapat menuntut. Begitu pula sebaliknya, karena setiap orang mungkin menjadi pembunuh atau yang dibunuh. Ketika ia menjadi pembunuh, maka qishâsh menjadi beban yang harus diterima. Namun, ketika ia terbunuh, maka qishâsh merupakan kemaslahatan baginya. Dengan demikian syariat itu menyentuh ke seluruh lapisan masyarakat.
Dari penggalan ayat :
(Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita),13 para ulama fiqh dan tafsir sepakat bahwa ayat ini menetapkan kewajiban menerapkan qishâsh untuk pembunuhan yang sengaja atau diniatkan, namun terjadi perbedaan pemahaman di antara para ulama dan pakar hukum mengenai bentuk dari pembunuhan sengaja, apakah orang yang merdeka diqishâsh atas pembunuhan yang dia lakukan terhadap seorang hamba atau tidak?, atau orang muslim kepada orang kafir atau ahli dzimmi?
Imam Abû Hanîfah menilai bahwa ayat di atas bersifat umum untuk seluruh pembunuhan, baik yang dilakukan oleh orang merdeka kepada seorang hamba dan sebaliknya, ataupun seorang dzimmi kepada seorang Muslim dan sebaliknya.14 Selain dasar pikiran di atas, Imam Abû Hanîfah juga menyatakan bahwa pernyataan:
"hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orangorang yang dibunuh"
dan ungkapan:
"orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita".
Hal ini merupakan dua ungkapan yang terpisah. Masing-masing merupakan kalimat yang sempurna dan berdiri sendiri. Kalimat pertama menjelaskan secara umum mengenai hukum qishâsh, sedangkan kalimat kedua merupakan penjelasan atau penyangkalan terhadap kekeliruan orang- orang jahiliyah yang pada waktu itu, sering melakukan pembalasan yang tidak seimbang. Sebagaimana yang tersebut di dalam asbâb an-nuzûl ayat ini; yaitu apabila ada salah seorang dari kelompok mereka yang terbunuh maka mereka menuntut balas lebih dari satu orang; yakni dengan membunuh beberapa orang. Bukan merupakan pembatasan status sebagai hamba dengan hamba, melainkan pembatasan satu banding satu.
Sedikit berbeda, Sya‘râwî menyatakan bahwa kata ..... secara zahir menunjukkan bahwa orang merdeka tidak dibunuh atau dihukum mati (qishâsh) karena membunuh hamba-sahaya. Namun, bagaimana halnya jika seorang hamba membunuh orang merdeka, atau seorang wanita membunuh laki-laki? Pada dasarnya maksud ayat tersebut adalah menghilangkan dendam berkepanjangan. Jadi, bukan berarti bahwa seorang merdeka tidak dibunuh karena membunuh hamba. Tujuan penetapan qishâsh di sini lebih pada keadilan hukum. Artinya bahwa apabila yang membunuh seorang merdeka, maka yang dibunuh adalah yang merdeka juga, dan seorang hamba dibunuh karena membunuh hamba, dan wanita dibunuh karena membunuh wanita. Jika terjadi sebaliknya, maka qishâsh tetap dijalankan. Dengan demikian, balasan atas pembunuhan setimpal dengan perbuatannya.
Sementara jumhur ulama (Malik, Syâfi‘i, dan Ahmad ibn Hambal) berpendapat bahwa seorang merdeka tidak boleh diqishâsh karena membunuh hamba sahaya. Dari ayat 178 surah al-Baqarah, terdapat pengertian bahwa Allah mewajibkan persamaan karena di antara makna qishâsh itu sendiri adalah seimbang.
Adapun penggalan berikut:
(orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita) merupakan penjelasan selanjutnya dari pengertian seimbang untuk penjelasan awal ayat. Dengan kata lain, ayat tersebut harus dipahami secara menyatu. Oleh karena di antara orang merdeka dan hamba sahaya tidak seimbang maka seorang merdeka yang membunuh hamba sahaya tidak dapat dihukum qishâsh.16 Jumhur ulama dan Imam Qurthubi juga berpendapat bahwa orang Muslim tidak diqishâsh karena membunuh orang kafir, sebagaimana tertuang dalam hadis nabi (Tidak dibunuh seorang Muslim karena membunuh orang kafir). (HR. Bukhari).
Dari pensyariatan qishâsh ini, kita mengetahui betapa luasnya cakrawala hukum Islam, dan betapa jelinya pandangan Islam terhadap relung- relung jiwa manusia ketika mensyariatkannya, dan betapa ia mengerti dorongan-dorongan yang ada dalam jiwa itu. Tujuan inilah yang tidak banyak dipahami oleh banyak orang yang mengkritik dan menolak ketentuan pidana Islam terutama qishâsh hukuman mati secara frontal tanpa mempelajarinya.
Jadi, sangat sulitlah menerima pendapat yang mengatakan bahwa penerapan hukuman mati dalam hukum Islam benar-benar melanggar hak azasi manusia. Mereka tidak memahami bahwa hukuman mati atau qishâsh bukanlah keputusan akhir tanpa dapat dielakkan. Karena, Islam menawarkan diyat sebagai ganti dari qishâsh, dan tindakan pemberian maaf adalah sebuah prilaku yang sangat terpuji dan diagungkan oleh Allah.
Imâm Abu Hanifah dahulu lebih menekankan pemberian maaf hanya untuk tindak pidana tersalah, pemukulan, penghilangan (salah satu anggota tubuh), dan jika kualitas tindak pidana tersebut sampai pada tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain secara sengaja maka pemberian maaf itu batal secara hukum.
Untuk konteks Indonesia di mana saat ini terjadi tingkat perkembangan kasus-kasus pembunuhan semakin tinggi dan memprihatinkan, karena bentuk pembunuhan yang begitu sadis dan kejam hingga pemotongan (mutilasi) anggota tubuh. Pendapat Abu Hanifah ini layak untuk dipertimbangkan. Dengan penolakan pemberian maaf dan diyat sebagai ganti qishâsh mungkin dapat menimbulkan rasa takut dan efek jera individu untuk melakukan kejahatan pembunuhan sengaja yang kejam.
0 comments:
Posting Komentar