Kepemimpinan (leardership) merupakan suatu hal yang tidak dapat terlepas dari kehidupan kita sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupannya manusia selalu tidak terlepas dari apa itu yang dinamakan interaksi, baik itu dengan sesamanya mau lingkungan kehidupannya. Ketika suatu individu telah masuk dalam suatu lingkungan kelompok atau organisasi, manusia tersebut haruslah mampu menciptakan kondisi yang harmonis antar anggota kelompok atau organisasi yang dimasukinya. Setiap anggota kelompok haruslah saling menghargai dan menghormati agar suatu tujuan yang telah dibuat bersama dapat tercapai, untuk itulah peran leardership dibutuhkan guna mencapai hal tersebut.
Setiap manusia pada dasarnya telah memiliki jiwa kepimimpinan sejak mereka dilahirkan kedunia ini. Karena tujuan utama manusia diciptakan adalah untuk menjadi pemimpin di muka bumi. Jiwa kepemimpinan itu dapat terlihat atau tidaknya tergantung bagaimana kita mengolah dan mengembangkan kepemimpinan itu sendiri.
A. Pengetian Kepemimpinan (Leadership) Dan Kelembagaan
Kepemimpinan adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas- aktivitas tugas dari orang-orang dalam kelompok. Kepemimpinan berarti melibatkan orang lain, yaitu bawahan atau karyawan yang dipimpin. Menurut Kartono (2010), pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan, tempramen, watak dan kepribadian sendiri yang unik khas sehingga tingkah laku dan gayanya yang membedakan dirinya dari orang lain. Gaya atau style hidupnya ini pasti akan mewarnai perilaku dan tipe kepemimpinannya. Sehingga dapat memunculkan beberapa tipe kepemimpinan, misalnya tipe-tipe kharismatik, paternalistik, militeristik, otokratis, laissez faire, populis, administratif dan demokratis.
Kepemimpinan juga dikatakan sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungan dengan pekerjaan para anggota kelompok. Jadi dasarnya kepemimpinan merupakan cara seorang pemimpin bawahannya agar mau bekerja sama dan bekerja efektif sesuai aturan bekerja.
Menurut Ruttan dan Hayami, (1984) lembaga adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang menfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan di mana setiap orang dapat bekerja sama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Sedangkan menurut Ostrom, (1985-1986) kelembagaan diidentikan dengan aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain.
Menurut KBBI (1997) kelembagaan didefinisikan sebagai suatu sistem badan sosial atau organisasi yang melakukan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Dari definisi tersebut Djogo Dkk, menyimpulkan kelembagaan sebagai suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antar organisasi yang diwadahai dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk berkerja sama dan mencapai tujuan bersama. Kelembagaan sendiri didefinisikan sebagai seperangkat aturan formal dan informal yang memfasilitasi koordinasi atau hubungan antara individu.
B. Metode Kepemimpinan (Leadership) Dalam Pengembangan Masyarakat
Berbagai lembaga lokal khususnya sistem kepemimpinan di tingkat lokal, telah tumbuh dan berkembang cukup lama di masyarakat. Fungsi dan peran sistem kepemimpinan ini telah terlihat banyak memberikan sumbangan dalam mengatasi aneka persoalan yang ada pada suatu komunitas. Oleh karenya, dapat dikatakan bahwa keberadaan lembaga kepemimpinan lokal ini memiliki posisi strategis dan sangat menentukan kualitas hidup suatu sistem sosial. Pada ukuran waktu cukup panjang, pemerintah telah menghasilkan aneka kebijakan dan keputusan yang ditujukan sebagai dasar pijakan bagi berjalannya sistem administrasi pemerintah pada aras lokal. Kebijakan yang diperkenalkan diharapkan dapat mewujudkan sosok pemimpin lokal (baik formal maupun tak formal) yang mampu melaksanakan peran sebagai agensia perubahan dan pembaraharuan pada sebuah komunitas. Di samping itu, pemimpin lokal ini diharapkan dapat menjadi mediator yang menjembatani kepentingan pemerintah dan aspirasi warga masyarakat.
Sosok pemimpin lokal yang hendak diwujudkan itu dengan demikian memiliki sejumlah kapasitas individu yang sangat dibutuhkan bagi upayapemberdayaan rakyat. Oleh karenanya, sosok ideal seorang pemimpin lokal hendaknya mampu untuk mencerna dan sekaligus menerapkan kebijakan pembangunan dan kemudian menyalurkan ke segenap lapisan masyarakat.
Masalah kepemimpinan secara sosiologis dapat dikaji dalam tiga rahah, yaitu (1) ranah legitimasi, (2) ranah visibilitas, (3) ranah pengaruh. Ranah legitimasi, memandang keberadaan pemimpin dari posisi yang dimilikinya (dalam berbagai macam organisasi), yang dari ranah ini kemudian melahirkan sebutan pemimpin formal (dikukuhkan dan memperoleh legitimasi resmi) dan pemimpin tak formal (berdasarkan pengakuan adat dan kebiasaan). Ranah visibilitas melihat tingkat pengakuan kepemimpinan seseorang baik dari massa yang dipimpinnya maupun dari pemimpinnya.
Pada ranah visibilitas, seseorang pemimpin digolongkan sebagai visiable leader, apabila kepemimpinannya diakui oleh pemimpin lain. Ranah pengaruh dalam konteks kepemimpinan melihat luas ajang atau kiprah seorang pemimpin. Seorang pemimpin dapat berpengaruh dalam beberapa bidang sekaligus atau lazim disebut menyandang kepemimpinan yang bersifat polymorphic. Di lain pihak, seorang pemimpin hanya berpengaruh pada satu bidang saja atau lazim disebut menyandang kepemimpinan yang bersifat monomorphic. Pembangunan masyarakat desa membutuhkan pemimpin desa yang bukan hanya mampu menumpuk dan memelihara kekuasannya dengan baik, tetapi yang lebih penting adalah yang mampu menggunakan berbagai jenis sumber dan dasar kekuasaannya secara efektif. Pembangunan di tingkat lokal membutuhkan pemimpin yang lebih demokratis, kolegial, partisipatif, dan humanis, yang mampu meletakkan rakyat bukan sekedar sebagai objek tetapi juga subjek pembangunan.
Sosok pemimpin juga harus mampu menjadi mediator yang menjembatani kepentingan pemerintah dan aspirasi warga masyarakat. Di dalam mewujudkab hal itu, sosok pemimpin lokal harus memiliki sejumlah kapasitas individu yang dibutuhkan bagi upaya pemberdayaan rakyat. Kapasitas itu di antaranya kemampuan artikulatif, aspiratif, dan akomodatif terhadap dinamika sosial yang berkembang di sekitarnya. Oleh karenanya, sosok ideal seorang pemimpin hendaknya mampu mencerna dan sekaligus menerapkan kebijakan pembangunan dan kemudian menyalurkan ke segenap lapisan masyarakat. Dengan kata lain, ia harus mau dan mampu terlibat secara aktif mengambil bagian dalam bentuk prakarsa untuk setiap aktivitas pengambilan keputusan yang sebenarnya dan strategis di tingkat lokal.
0 comments:
Posting Komentar