Alasan Perlu Dilakukan Amandemen UUD 1945
Menurut Sri Soemantri
Dalam buku yang berjudul prosedur dan sistem perubahan konstitusi dalam kutipan tentang persepsi terhadap prosedur dan sistem perubahan konstitusi dalam batang tubuh UUD 1945 ,
Sri Soemantri menyatakan, bahwa perubahan UUD pada dasarnya merupakan suatu keniscayaan, karena: “Pertama generasi yang hidup sekarang tidak dapat mengikat generasi yang akan datang, Kedua hukum konstitusi hanyalah salah satu bagian dari hukum tatanegara, serta Ketiga ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar selalu dapat diubah”,
Selanjutnya Sri Soemantri menyatakan, bahwa: “prosedur serta sistem perubahan Undang-Undang Dasar 1945 seharusnya merupakan perwujudan dua hal, yaitu menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia dan memungkinkan adanya perubahan (kursif dari penulis).”
Hampir 20 (duapuluh) Tahun kemudian -usai opini Sri Soemantri dalam disertasi yang dipaparkannya pada tahun 1978- Perubahan UUD 1945 secara formal dilakukan pada Sidang MPR Tahun 1999.
Menurut Harun AlRasid
Terkait dengan perlunya UUD 1945 diubah, Harun Alrasid menyatakan, bahwa “UndangUndang Dasar 45 adalah terlalu summier, terlalu banyak masalah-masalah yang diserahkan kepada pembuat peraturan yang lebihrendah (daripada UUD 1945), serta tidak menjamin secara tegas hak-hak asasi manusia”.
Menurut Abdul Mukthie Fadjar
Opini selanjutnya mengenai perlunya UUD 1945 diubah, dipaparkan oleh Abdul Mukthie Fadjar, bahwa terdapat lima alasan perlunya reformasi UUD 1945, antara lain:
1. Alasan Historis
Alasan historis, bahwa sejarah pembentukan UUD 1945 memang didesain oleh para pendiri negara (BPUPKI, PPKI) sebagai UUD yang “bersifat sementara” karena dibuat dan ditetapkan dalam suasana ketergesa-gesaan. Yamin (1971: 410) mengutip statement Ir. Soekarno selaku Ketua PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 untuk menegaskan sifat kesementaraan UUD 1945 sebagai berikut: … bahwa Undang-Undang Dasar jang buat sekarang ini, adalah UndangUndang Dasar Sementara.
Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana jang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat jang dapat membuat UndangUndang Dasar jang lebih lengkap dan lebih sempurna. Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-undang Dasar jang lebih sempurna dan lengkap ….
Penggalan pernyataan Sukarno tersebut acapkali digunakan sebagai dasar pembenaran, bahwa para Perumus UUD 1945 (the framers of 1945’Constitution) menyatakan UUD 1945 bersifat sementara , namun para pengutip pernyataan tersebut tidak menangkap, bahwa:
Suasana yang mendominasi saat sidang-sidang PPK nampaknya dipenuhi keinginan untuk segera mungkin mensahkan UUD bagi negara Republik Indonesia yang sehari sebelumnya sudah diproklamasikan kemerdekaan-nya. Jadi, suasana ketergesaan inilah kiranya yang mendasari Sukarno sebagai Ketua PPK mengajak para anggotanya menyelesaikan pembahasan Rancangan UUD dan segera mensahkannya sebagai UUD Negara Republik Indonesia.
Di samping itu, kemungkinan besar Sukarno ingin menghindari terjadinya perdebatan yang berkepanjangan sebagaimana terjadi pada sidang-sidang BPUPK. Dua argumentasi tersebut, kiranya, yang mendasari Sukarno menyebut UUD Negara Republik Indonesia sebagai Undang-undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat atau “revolutiegrondwet”. Mengenai hal ini, simak uraian Sukarno selengkapnya:
Ketua SOEKARNO: Sidang saya buka lagi. Saya beri kesempatan untuk membuat pemandangan umum, yang singkat, cekak aos, hanya mengenai pokok-pokok saja dan Tuan-tuan semuanya tentu mengerti, bahwa Undang- undang Dasar yang kita buat sekarang ini, adalah Undang-undang Dasar sementara.
Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undangundang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.
Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap. Harap diingat benar-benar oleh Tuan-tuan, agar supaya kita ini hari bisa selesai dengan Undang- undang Dasar ini. Sekarang, siapa yang hendak membuat pemandangan umum yang cekak, singkat, aos?7 (cetak tebal dari penulis).
Dengan demikian, aspek suasana ketergesaan hendak merampungkan Undang-Undang Dasar serta upaya untuk menghindari debat berkepanjangan yang melandasi Sukarno mengajak para anggota PPK untuk segera menuntaskan tugasnya. Bukan semata-mata ketidaksempurnaan UUD 1945 atau para Perumus UUD 1945 secara sadar menetapkan UUD 1945 sebagai UUD dengan status sementara.
Bahkan dengan ditetapkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150 tahun 1959 tentang Dekrit Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 75) secara yuridisformal UUD 1945 telah dinyatakan sebagai konstitusi definitif.8
2. Alasan filosofis
Alasan kedua yang diajukan Abdul Mukthie Fadjar dilandaskan pada alasan yang bersifat filsafat, bahwa:Alasan filosofis, bahwa dalam UUD 1945 terdapat percampur-adukan beberapa gagasan yang saling bertentangan, seperti antara faham kedaulatan rakyat dengan faham integralistik, antara faham negara hukum dengan faham negara kekuasaaan (Nasution: 1993).
Alasan ini tentu harus dielaborasi secara cermat, karena pada dasarnya para perumus UUD 1945 beranjak dari berbagai perspektif yang berbeda. Namun dengan semangat kebersamaan, Soepomo –perancang UUD 1945- mampu men- sikronisasikan tiap-tiap perspektif dalam satu formulasi UUD yang secara sistematis dan bersifat menyeluruh.
3. Alasan Teoritis
Selanjutnya Abdul Mukhtie Fajar mengajukan alasan teoretis sebagai alasan ketiga perlunya perubahan UUD 1945, yakni : Alasan teoretis, dari sudut pandang teori konstitusi (konstitusionalisme), keberadaan konstitusi bagi suatu negara hakekatnya adalah untuk mem-batasi kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang, tetapi justru UUD1945 kurang menonjolkan pembatasan kekuasaan tersebut, melainkan lebih menonjolkan pengintegrasian (Mahasin, 1979).
Opini tersebut sangat rentan terhadap berbagai perdebatan, karena persoalan hakikat konstitusi bagi suatu negara merupakan persoalan yang kontroversial antarpakar hukum tata negara. Artinya, secara teoretis belum terbentuk suatu communisto opinium doctorum tentang pengertian maupun hakikat konstitusi.
Berdasarkan teori hukum konstitusi terdapat dua kelompok pengertian konstitusi: Pertama, konstitusi dalam arti luas sebagaimana diajukan oleh Bolingbroke:
“By Constitutions, we mean, whenever we speak with propriety and exactness, that assemblage of laws, institutions and customs, derived from certain fixed principles of reason … that compose the general system, according to which the community had agreed to be governed.”
(Yang dimaksud dengan konstitusi, saat kita membahas kelayakan dan kepastian dalam undang-undang, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan, yang dihasilkan dari alasan-alasan tertentu didasarkan pada asas-asas yang bersifat tetap … dan membentuk sebuah sistem umum yang disetujui oleh suatu masyarakat untuk diperintah)
Berdasarkan pengertian tersebut Bolingbroke menegaskan konstitusi sebagai suatu bentuk pengaturan tentang berbagai aspek yang bersifat menda- sar dalam sebuah negara, baik aspek hukum maupun aspek lainnya yang merupakan kesepakatan masyarakat untuk diatur. Aspek lain dalam pemaha- man Bolingbroke dapat berupa aspek sosial dalam arti kelembagaan dan kebiasaan, aspek filosofis dalam arti asas-asas yang didasarkan apada alasan- alasan tertentu.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa pengertian yang diajukan oleh Bolingbroke termasuk pada pengertian konstitusi dalam arti luas,
sedangkan kedua pengertian konstitusi dalam arti sempit pada paparan selanjutnya sebagaimana diajukan para pakar sebagai berikut:
1. Lord Bryce: “…a frame of political society, organized through and by law, that is to say, one in which law has established permanent institutions with recognized functions and definite rights.” (sebuah kerangka politis dari suatu masyarakat, yang diatur dengan dan oleh undang-undang, yang berisi aturan tentang lembaga-lembaga yang bersifat tetap dan mapan yang diakui fungsi-fungsi dan hak-haknya yang terbatas).
2. CF. Strong: “… a collection of principles according to which the powers of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted.” (sebuah kumpulan dari asas-asas tentang kekuasaan- kekuasaan sebuah pemerintahan, hak-hak dari rakyat, dan hubungan antara keduanya).
3. S.E. Finer, Vernon Bogdanor, dan Bernard Rudden: “Constitutions are codes of norms which aspire to regulate the allocation of powers, function, and duties among the various agencies and officers of government, and to define the relationship between these and the public.” (Konstitusi adalah ketentuan dari norma-norma yang ditujukan untuk mengatur pembagian kekuasaan, fungsi, dan tugas-tugas antarberbagai lembaga dan jabatan- jabatan dalam pemerintahan, serta pembatasan hubungan antara lembaga dan jabatan-jabatan tersebut dengan masyarakat).
4. Sri Soemantri yang menyatakan bahwa: “…umumnya Undang-Undang Dasar atau konstitusi berisi tiga hal pokok: pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganegara; kedua ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental, dan yang ketiga adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental.”
Alasan Pokok Perlu Dilakukannya Amandemen Pada UUD 1945
Terlepas dari kontroversi mengenai berbagai alasan perubahan UUD 1945, sekurangnya ada lima alasan pokok UUD 1945 perlu diubah, antara lain:
Pertama, guna mempertegas makna diktum yang terdapat dalam pasal;
Kedua,guna memperbaiki atau menyempurnakan diktum guna menghindari penafsiran ganda;
Ketiga, guna mengkoreksi kesalahan yang dilakukan dalam suatu dictum;
Keempat, guna menambah diktum baru demi penyempurnaaan sistem ketatanegaraan yang dianut dalam konstitusi tersebut; serta
Kelima, guna mengadopsi perkembangan ketatanegaraan guna terciptanya kepastian hukum dalam waktu yang relatif lama.
Akhirnya dalam melakukan perubahan konstitusi hendaknya dicamkan, bahwa: “… Constitutionalism must be understood as involving historical and cultural interpretation, as well as textual exegesis, in that meaning of a constitutional text depends on the context to which it is to be applied” (Konstitusionalisme harus dipahami sejajar dengan penafsiran historis dan kebudayaan sebagaimana pemahaman terhadap rumusan terkait, artinya rumusan konstitusi tergantung pada konteks penerapannya).
0 comments:
Posting Komentar